Dikejar Soang, Gak Bisa Berenang — Saya Bikin Album Mini Tentang Masa Kecil Saya Sebagai Upaya Katarsis
Prolog: Saya bukan musisi profesional — album mini ini (sebut saja EP?) bukan album profesional yang layak dikritik secara profesional. Ini semua lagu katarsis, lagu personal, lagu yang saya tuliskan untuk menebus perasaan nostaljik pada masa lalu yang tidak melulu manis, tidak melulu tawa; pada melankoli yang merayap dan menyergap ketika malam menipis dan sepi menjepit (halah). Orisinil? Tentu tidak. Bagus? Relatif. Katarsis? Pasti iya.Tapi ya kalo mau ngritik profesional ya gapapa juga. Terserah. Lagu-lagu ini tidak pernah saya bagikan secara publik, hanya ke beberapa teman. Tapi lama-lama saya penasaran apakah pengalaman saya ini relatable. Karena itu, saya akan bercerita tentang semua lagu amatiran ini.
Track 1: Lagu Soang
Ini lagu pertama yang saya tulis. Saya tulis waktu kuliah di Amerika dulu. Saya tulis ini pake Ukulele buatan Meksiko yang saya beli waktu ada pameran di kampus. Lagu ini saya tulis karena saya ingat dulu waktu saya kelas satu SD saya pergi sekolah tidak diantar orang tua. Dan itu pengalaman yang luar biasa menakutkan. Bukan, bukan takut diculik. Tapi takut nyasar, takut terlambat dan yang lebih parah lagi: takut disosor soang. Saya tidak ingat persis di mana lokasi soang-soang itu tapi saya ingat ada empang, dan ada soang. Dan soangnya bisa lari, dan bisa nyosor. Nyosor? Ini entri KBBI untuk kata sosor: sosor, menyosor/so·sor, me·nyo·sor/ v menyerang dengan paruh.
Track 2: Aku Benci Penjas
Lagu ini saya tulis tiga tahun lalu untuk menebus katarsis yang tidak sempat saya lampiaskan dengan baik selama enam tahun saya di sekolah dasar. Saya bisa merangkum periode kelam tersebut dalam satu kalimat: saya benci penjas. Saya ingat saya bukan hanya yang paling muda di kelas, tapi saya juga yang paling tidak atletik. Saya ingat saya tidak pernah bisa berenang dan seringkali agar mendapat nilai penjas di raport saya diminta membayar uang masuk kolam renang dan membayar uang entah apa ke guru penjas. Dalam setiap pelajaran penjas saya gagal: serving bola voli misalnya (dulu saya nyebutnya serpen), gak pernah itu bolanya melewati net. It was embarrassing. Kepayahan ini merata di subyek lain, termasuk pramuka. Saya ingat dulu kami semua diminta untuk membuat kelompok — dan kawan-kawan berlarian mencari yang paling atletik. Yang tersisa hanya beberapa pecundang yang terpaksa membuat kelompok dengan nama Kancil. Grup kami selalu paling belakang — dikalahkan secara kolosal oleh grup Beruang dan Harimau.
(But, hey, Kancil was supposed to be clever and could easily outsmart those predators!? Ya, Kancil the little deer in dongeng-dongeng was, we were not.)
Track 3: Kenanglah Sepatumu
Ini lagu buat zaman SMP dulu, buat semua yang salah dari middle school, persis seperti yang diceritakan dengan baik dalam karyanya Jeff Kinnet, Diary of a Wimpy Kid. Pubertas memang tidak menyenangkan, apalagi kalo secara fisik dan emosional Anda belum siap untuk melewati transisi menjadi dewasa. Saya ingat dulu ada kawan, yang sebetulnya bukan orang jahat, yang seringkali bisa jadi kawan yang baik sekali, yang qiro’at-nya bagus banget, tapi orangnya insufferably jail. Dia seneng melempat sepatu saya ke atas genteng sekolah. Man, it was awful. I really didn’t know what to do. Kalo ngajak berantem pasti saya kalah, dan situasinya pasti akan jauh lebih memalukan. Tapi sok cool juga bukan pilihan: wong sepatu ente tinggal sebelah. Gak ada situasi di mana jalan dengan sepatu cuma sebelah itu keren. It’s a lose-lose situation. Ini satu alasan saya benci pake sepatu, karena mengingatkan saya pada sekolah. Dan sekolah bukan jalan-jalan di taman bunga buat saya. Saya masih ingat persis pagi itu, seperti pagi-pagi lain di masa itu, saya malas berangkat sekolah, dan entah bagaimana mengingat itu sekarang membuat saya merasa lega.
Track 4: Dunia Dalam Berita
Setiap anak sekolah generasi 90an pasti ingat Dunia Dalam Berita. Karena Dunia Dalam Berita adalah jam tidur tidak resmi bagi semua anak-anak dari keluarga kelas pekerja yang tidak punya hiburan lain selain nonton TV. Dunia Dalam Berita, bagi kami, adalah batas antara early and late night. Jadi film-film PG13 yang kami tonton — Airwolf, McGyver, Knight Rider , etc—itu semua ditayangkan sebelum Dunia Dalam Berita. Setelah itu ya film-film yang dianggap cocok untuk penonton yang lebih dewasa. Melrose Place, misalnya, seingat saya ditayangkan setelah Dunia Dalam Berita. Anyway, meskipun saat itu saya bukan jurnalis (ya kali) dan tidak punya interes pada world affairs, saya suka Dunia Dalam Berita karena itu program acara pengantar tidur yang baik sekali. Dan yang lebih penting dari itu, secara retrospektif, dunia pada saat itu (terlepas dari Perang Teluk dan pembantaian Muslim Bosnia) tampak lebih “damai” ketimbang sekarang. Tentu saja bukan karena saat itu dunia baik adanya , tapi karena saat itu kadar kepedulian saya pada dunia dan segala persolannya — perang dan kelaparan — kecil sekali, kalo bukan nil.
Epilog: Kadang saya berpikir bagaimana mereka yang lemarinya penuh dengan piala dan penghargaan melihat masa lalu mereka: apakah mereka lebih merasa nostaljik dengan keagungan masa lalu mereka? Kalo mereka suka menulis lagu, lagu seperti apa yang akan mereka tuliskan? Pastinya bukan lagu tentang anak kecil yang membenci matpel penjas.