Dikejar Soang, Gak Bisa Berenang — Saya Bikin Album Mini Tentang Masa Kecil Saya Sebagai Upaya Katarsis

Abu Hamid al-Gentole
4 min readDec 6, 2020

--

Sumber: catatandodi.wordpress.com

Prolog: Saya bukan musisi profesional — album mini ini (sebut saja EP?) bukan album profesional yang layak dikritik secara profesional. Ini semua lagu katarsis, lagu personal, lagu yang saya tuliskan untuk menebus perasaan nostaljik pada masa lalu yang tidak melulu manis, tidak melulu tawa; pada melankoli yang merayap dan menyergap ketika malam menipis dan sepi menjepit (halah). Orisinil? Tentu tidak. Bagus? Relatif. Katarsis? Pasti iya.Tapi ya kalo mau ngritik profesional ya gapapa juga. Terserah. Lagu-lagu ini tidak pernah saya bagikan secara publik, hanya ke beberapa teman. Tapi lama-lama saya penasaran apakah pengalaman saya ini relatable. Karena itu, saya akan bercerita tentang semua lagu amatiran ini.

Hari Rabu yang cerah
Aku pulang sekolah
Lewat rumah Pak Ujang
Di depan empang

Kaget bukan kepalang
Di situ ada soang
Yang lehernya panjang
Dan berwajah garang

‘Awas, dik!’ Kata Pak Ujang
‘Nanti kamu disosor soang!’

Soang, dikejar soang
Soang, disosor soang

Jangan lari ke sana
Jangan diam di situ
Karena ada bahaya
Yang sedang mengintai

Jangan maju ke depan
Jangan mundur ke belakang
Kau benar dalam bahaya
Cepatlah berdoa

‘Awas, dik!’ Kata Pak Ujang
‘Nanti kamu disosor soang!’

Soang, dikejar soang
Soang, disosor soang

Track 1: Lagu Soang

Ini lagu pertama yang saya tulis. Saya tulis waktu kuliah di Amerika dulu. Saya tulis ini pake Ukulele buatan Meksiko yang saya beli waktu ada pameran di kampus. Lagu ini saya tulis karena saya ingat dulu waktu saya kelas satu SD saya pergi sekolah tidak diantar orang tua. Dan itu pengalaman yang luar biasa menakutkan. Bukan, bukan takut diculik. Tapi takut nyasar, takut terlambat dan yang lebih parah lagi: takut disosor soang. Saya tidak ingat persis di mana lokasi soang-soang itu tapi saya ingat ada empang, dan ada soang. Dan soangnya bisa lari, dan bisa nyosor. Nyosor? Ini entri KBBI untuk kata sosor: sosor, menyosor/so·sor, me·nyo·sor/ v menyerang dengan paruh.

Track 2: Aku Benci Penjas

Apa lo merasa
Lo kayak mie sedap
Oke, tapi gak cukup oke
Guru SD lo bilang
Elo itu ngambang
Gak ada yang tahu
Kamu itu siapa

Kapan, kapan kita bisa bertemu lagi?
Oh, apakah kita bisa bicara
Dan memulainya kembali?

Bukan salahmu jangan diambil hati
Bukan salahmu jangan dibawa mati
Hey, sebentar lagi malam
Aku kan antar kamu pulang

Celana kedodoran
Gak bisa berenang
Setengah mati kau benci penjas
Gak pernah dapat rengking
Rata-rata enam
“Kamu harus lebih
Rajin belajar!”

Kapan, kapan kita bisa bertemu lagi?
O, apakah kita bisa bicara
Dan memulainya kembali?

Bukan salahmu jangan diambil hati
Bukan salahmu jangan dibawa mati
Hey, sebentar lagi hujan
Aku akan antar kamu pulang

Lagu ini saya tulis tiga tahun lalu untuk menebus katarsis yang tidak sempat saya lampiaskan dengan baik selama enam tahun saya di sekolah dasar. Saya bisa merangkum periode kelam tersebut dalam satu kalimat: saya benci penjas. Saya ingat saya bukan hanya yang paling muda di kelas, tapi saya juga yang paling tidak atletik. Saya ingat saya tidak pernah bisa berenang dan seringkali agar mendapat nilai penjas di raport saya diminta membayar uang masuk kolam renang dan membayar uang entah apa ke guru penjas. Dalam setiap pelajaran penjas saya gagal: serving bola voli misalnya (dulu saya nyebutnya serpen), gak pernah itu bolanya melewati net. It was embarrassing. Kepayahan ini merata di subyek lain, termasuk pramuka. Saya ingat dulu kami semua diminta untuk membuat kelompok — dan kawan-kawan berlarian mencari yang paling atletik. Yang tersisa hanya beberapa pecundang yang terpaksa membuat kelompok dengan nama Kancil. Grup kami selalu paling belakang — dikalahkan secara kolosal oleh grup Beruang dan Harimau.

(But, hey, Kancil was supposed to be clever and could easily outsmart those predators!? Ya, Kancil the little deer in dongeng-dongeng was, we were not.)

Track 3: Kenanglah Sepatumu

Ku ingin mengenangmu
Seperti mewangi
Butiran embun pagi
Gerimis semalam?
Ku tak ingin melangkah
Disandra gelisah
Ku tak ingin beranjak
Dan pergi sekolah
Kau tak mungkin berhenti
Dan tinggal di rumah
Kau harus lekas pergi
Kenakan sepatumu.

Menerabas ilalang
Mengejar mentari
Di dalam pikiranmu
Kau lah yang terbuang
Ku tak ingin melangkah
Disandra gelisah
Ku tak ingin beranjak
Dan pergi sekolah
Kau tak mungkin berhenti
Dan tinggal di rumah
Kau harus lekas pergi
Kenanglah sepatumu.

Ini lagu buat zaman SMP dulu, buat semua yang salah dari middle school, persis seperti yang diceritakan dengan baik dalam karyanya Jeff Kinnet, Diary of a Wimpy Kid. Pubertas memang tidak menyenangkan, apalagi kalo secara fisik dan emosional Anda belum siap untuk melewati transisi menjadi dewasa. Saya ingat dulu ada kawan, yang sebetulnya bukan orang jahat, yang seringkali bisa jadi kawan yang baik sekali, yang qiro’at-nya bagus banget, tapi orangnya insufferably jail. Dia seneng melempat sepatu saya ke atas genteng sekolah. Man, it was awful. I really didn’t know what to do. Kalo ngajak berantem pasti saya kalah, dan situasinya pasti akan jauh lebih memalukan. Tapi sok cool juga bukan pilihan: wong sepatu ente tinggal sebelah. Gak ada situasi di mana jalan dengan sepatu cuma sebelah itu keren. It’s a lose-lose situation. Ini satu alasan saya benci pake sepatu, karena mengingatkan saya pada sekolah. Dan sekolah bukan jalan-jalan di taman bunga buat saya. Saya masih ingat persis pagi itu, seperti pagi-pagi lain di masa itu, saya malas berangkat sekolah, dan entah bagaimana mengingat itu sekarang membuat saya merasa lega.

Track 4: Dunia Dalam Berita

perang teluk, bencana di afrika
hanya cerita dunia dalam berita

besok pagi aku kan pergi sekolah
dan dunia semua baik adanya

baru saja selesai film mcgyver
jam sembilan waktunya untuk tidur

besok pagi aku kan pergi sekolah
dan dunia semua baik adanya

Setiap anak sekolah generasi 90an pasti ingat Dunia Dalam Berita. Karena Dunia Dalam Berita adalah jam tidur tidak resmi bagi semua anak-anak dari keluarga kelas pekerja yang tidak punya hiburan lain selain nonton TV. Dunia Dalam Berita, bagi kami, adalah batas antara early and late night. Jadi film-film PG13 yang kami tonton — Airwolf, McGyver, Knight Rider , etc—itu semua ditayangkan sebelum Dunia Dalam Berita. Setelah itu ya film-film yang dianggap cocok untuk penonton yang lebih dewasa. Melrose Place, misalnya, seingat saya ditayangkan setelah Dunia Dalam Berita. Anyway, meskipun saat itu saya bukan jurnalis (ya kali) dan tidak punya interes pada world affairs, saya suka Dunia Dalam Berita karena itu program acara pengantar tidur yang baik sekali. Dan yang lebih penting dari itu, secara retrospektif, dunia pada saat itu (terlepas dari Perang Teluk dan pembantaian Muslim Bosnia) tampak lebih “damai” ketimbang sekarang. Tentu saja bukan karena saat itu dunia baik adanya , tapi karena saat itu kadar kepedulian saya pada dunia dan segala persolannya — perang dan kelaparan — kecil sekali, kalo bukan nil.

Epilog: Kadang saya berpikir bagaimana mereka yang lemarinya penuh dengan piala dan penghargaan melihat masa lalu mereka: apakah mereka lebih merasa nostaljik dengan keagungan masa lalu mereka? Kalo mereka suka menulis lagu, lagu seperti apa yang akan mereka tuliskan? Pastinya bukan lagu tentang anak kecil yang membenci matpel penjas.

--

--

Abu Hamid al-Gentole
Abu Hamid al-Gentole

Written by Abu Hamid al-Gentole

Kuli tinta. Pensiunan blogger Wordpress Angkatan 2008

Responses (1)